Dalam catatan di Tabloid NOVA, 679/XIV, 4 Maret 2001, ternyata
tradisi perayaan ulang tahun sudah ada di Eropa sejak berabad-abad
silam. Orang-orang pada zaman itu percaya, jika seseorang berulang
tahun, setan-setan berduyun-duyun mendatanginya. Nah, untuk
melindunginya dari gangguan para makhluk jahat tersebut, keluarga dan
kerabat pun diundang untuk menemani, sekaligus membacakan doa dan
puji-pujian bagi yang berulang tahun. Pemberian kado atau bingkisan juga
dipercaya akan menciptakan suasana gembira yang akan membuat para setan
berpikir ulang ketika hendak mendatangi orang yang berulang tahun. Ini
memang warisan zaman kegelapan Eropa.
Berdasarkan catatan tersebut, awalnya perayaan ulang tahun hanya diperuntukkan
bagi para raja. Mungkin, karena itulah sampai sekarang di negara-negara
Barat masih ada tradisi mengenakan mahkota dari kertas pada orang yang
berulang tahun. Namun seiring dengan perubahan zaman, pesta ulang tahun
juga dirayakan bagi orang biasa. Bahkan kini siapa saja bisa merayakan
ulang tahun. Utamanya yang punya duit.
Jadi Tradisi ulang tahun sama sekali tidak memiliki akar sejarah dalam islam.
Islam tak pernah diajarkan untuk merayakan ulang tahun. Kalo pun
kemudian ada orang yang berargumen bahwa dengan diperingatinya Maulid
Nabi, hal itu menjadi dalil kalo ulang tahun boleh juga dalam pandangan
Islam. Maka ini adalah argumen yang tidak tepat.
Rasulullah SAW sendiri tak pernah mengajarkan kepada kita melalui hadisnya untuk merayakan maulid Nabi. Maulid Nabi, itu bukan untuk diperingati, tapi tadzkirah, alias peringatan.
Maksudnya? Jika kita baca buku tarikh Islam, di dalamnya terdapat
catatan bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayubi amat prihatin dengan kondisi
umat Islam pada saat itu. Di mana bumi Palestina dirampas oleh Pasukan
Salib Eropa. Sultan Shalahuddin menyadari bahwa umat ini lemah dan tidak
berani melawan kekuatan Pasukan Salib Eropa yang berhasil menguasai
Palestina, lebih karena mereka sudah terkena penyakit wahn (cinta
dunia dan takut mati). Mereka bisa menjadi seperti itu karena
mengabaikan salah satu ajaran Islam, yakni jihad. Bahkan ada di antara
mereka yang tidak tahu menahu dengan perjuangan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya.
Untuk menyadarkan kaum muslimin tentang pentingnya perjuangan, Sultan
Shalahuddin menggagas ide tersebut, yakni tadzkirah terhadap Nabi, yang
kemudian disebut-entah siapa yang memulainya-sebagai maulid nabi.
Tujuan intinya mengenalkan kembali perjuangan Rasulullah dalam
mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Singkat cerita, kaum muslimin saat
itu sadar dengan kelemahannya dan mencoba bangkit. Dengan demikian,
berkobarlah semangat jihad dalam jiwa kaum muslimin, dan bumi Palestina
pun kembali ke pangkuan Islam, tentu setelah mereka mempecundangi
Pasukan Salib Eropa. Jadi Maulid nabi bukan dalil dbolehkannya pesta
ulang tahun.
Kembali ke pokok pembicaraan, Pesta ulang tahun bukanlah warisan
Islam. Tapi warisan asing, alias ajaran di luar Islam. Lalu gimana jika
kita melakukannya? Berdosakah? karena tradisi itu adalah tradisi
orang-orang Eropa, yang saat itu berkembang ajaran Kristen, maka pesta
ultah tentu saja merupakan tradisi kaum non-muslim. Jika kita
melakukannya, maka termasuk dosa.
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain.
Rasulullah SAW bersabda : “Kamu telah mengikuti sunnah
orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.
Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti
mereka. Kami bertanya : Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan
itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda:
Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari Muslim).
Dari sini jelas bahwa hukum merayakan ultah adalah haram.
Mungkin ada pertanyaan seperti ini, “Bolehkah merayakan ulang tahun
dalam arti berdoa atau mendoakan agar yang berulang tahun selamat,
sehat, takwa, panjang umur, dan seterusnya. Semua itu dilakukan dengan
cara dan isi doa yang syar’i, tanpa upacara tiup lilin dan sebagainya
seperti cara Barat, lalu dilanjutkan acara makan-makan. Bolehkah?”
Jawabannya, berdoa dan makan-makan adalah halal. Tetapi bila dilakukan pada hari seseorang berulang tahun, maka akan terkena hukum haram ber-tasyabbuh bil kuffar.
Jadi di sini akan bertemu hukum haram dan halal. Dalam kondisi seperti
ini wajib diutamakan yang haram daripada yang halal sebab kaidah syara’
menyebutkan : “Idza ijtama’a al halaalu wal haraamu, ghalaba al haramu al halaala.”
Artinya, “Jika bertemu halal dan haram (pada satu keadaan) maka yang
haram mengalahkan yang halal.” (Kitab as-Sulam, Abdul Hamid Hakim).
Dengan demikian, jika merayakan ultah diartikan sebagai “berdoa dan
makan-makan”, dan dilaksanakan pada hari ultah, hukumnya haram, sesuai
kaidah syar’i di atas. Akan tetapi jika dilaksanakan bukan pada hari
ultah, maka hukumnya –wallahu a’lam bi ash shawab– menurut pemahaman
kami adalah mubah secara syar’i. Sebab hal itu tidak termasuk tasyabbuh bil kuffar
karena yang dilakukan pada faktanya adalah “berdoa plus makan-makan”,
yang mana keduanya adalah boleh secara syar’i. Lagi pula hal itu
dilakukan tidak pada hari ultah sehingga di sini tidak terjadi pertemuan
halal dan haram sebagaimana kalau acara tersebut dilaksanakan pada hari
ultah. Wallahu a’lam.
Allah SWT Berfirman : “Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. ali Imrân [3] : 85). dan “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan dimintai
pertanggungjawabannya.” (QS. al-Isrâ’ [17] : 36).
Rasullah SAW juga bersabda : Belum sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (al-Qur’an). (Hadits ke-41 dalam Hadits al-Arba’in karya Imam Nawawi).
Bagaimana dengan Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun Dalam Islam?
Perayaan ulang tahun adalah bid’ah. Mengapa? Ada dua landasan yang
diikuti oleh umat Islam: Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Sunnah ini
kemudian terbagi atas ucapan, perbuatan, atau niat Rasulullah saw yang
kemudian tidak sempat terlaksana karena beliau meninggal dunia sebelum
sempat melaksanakannya.
Mengucapkan selamat ulang tahun (kata Dipo, istilah yang kemudian
diarabisasikan adalah milad dan hari lahir) ini adalah salah satu hal
yang tidak dituntunkan oleh teladan umat Islam, Rasulullah saw. Jika
mengucapkan selamat hari lahir adalah tuntunan, Rasulullah pasti akan
membiasakan hal tersebut pada umatnya. Selain itu, tradisi perayaan
ulang tahun atau hari lahir ini adalah budaya kaum nonmuslim.
Berdasarkan hadis Rasulullah saw, seseorang yang mengikuti suatu kaum
maka ia termasuk ke dalam golongan itu. Perayaan hari lahir ini telah
tercipta sejak jaman Nabi Nuh as. Salah satu anaknya kemudian mengadakan
perayaan hari lahirnya. Karenanya, umat muslim yang memiliki prinsip
hidup yang unik tidak diperbolehkan untuk mengikuti kaum lain, apalagi
kaum kafir dan nonmuslim. Kegiatan yang mengikuti tradisi umat lain
dinamakan juga tasyabbuh.
Ustad Maknun Prawiro mengatakan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kerusakan dalam agama Islam, yakni:
1. Mengikut-ikutii kaum lain
2. Pluralisme
3. Pendangkalan aqidah
Tentu saja tak seorang pun dari kita ingin menyebabkan kerusakan
dalam agama Islam bukan? Apalagi mengucapkan selamat ulang tahun saya
rasa adalah hal yang sepele. Tapi, ini berkaitan dengan bid’ah, dan
orang yang melakukan bid’ah tak termasuk umat Rasulullah saw yang
mendapat syafaat.
Merayakan dan mengucapkan selamat ultah juga tidak ada contohnya dari
Nabi dan para sahabat, sehingga dilarang dalam Islam, bahkan jatuh ke
dalam tasyabbuh/ menyerupai orang kafir.
dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” [HR. Abu Daud dan Ahmad]
Bagaimana pendapat rekan-rekan semua? sudah jelaskah
pemaparan diatas? hal-hal kecil, sepele ternyata berdampak buruk
terhadap umat? jika bukan kita yang memperbaikinya, siapa lagi?
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai
ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai
ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal
peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat
telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan
merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan
terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied
(hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah
menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati
dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang
dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang
lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini
bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali
kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya.
Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.
Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya
dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur
panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga
Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya"
atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang
kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang
jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita
darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan
dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami
akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan
cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka.
Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka.
Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya
bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan".
[Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa
Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah
Ashim, Penerbit Griya Ilmu]
Ulang tahun termasuk di antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah
dikenal di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tatkala penentuan
hari raya adalah tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka
menentukan suatu hari sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan
bid’ah dalam agama dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik
radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي
الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا:
يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari
raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh
Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari
keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”.
(HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam
Shahih Al-Jami’ no. 4460)
Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha.
Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya yang dimunculkan
oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam telah
bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”.
(HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang
terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka
(orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang
yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan
ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas
orang-orang non muslim”.
Karenanya tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun
yang merayakan hari raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti
ultah, natalan, waisak, dan semacamnya), karena mengucapkan selamat
menunjukkan keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah
tersebut. Dan ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana
seorang muslim wajib membenci kemaksiatan. Wallahu a’lam
Halaman
▼
Selasa, 23 April 2013
Meninjau Ulang Emansipasi
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 038
Masalah kewanitaan dalam Islam menjadi tema yang tak
habis-habisnya disoroti oleh aktivis perempuan dan kalangan feminis.
Dari soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang “rendah”
karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga poligami. Semuanya
bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang sama
alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi
pembedaan (yang membabi buta) antara pria dan wanita.Adalah sebuah kenyataan, wanita berbeda dengan pria dalam banyak hal. Dari perbedaan kondisi fisik, sisi emosional yang menonjol, sifat-sifat bawaan, dan sebagainya. Makanya syariat pun memayungi perbedaan ini dengan adanya fiqh yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan fiqh yang dikhususkan bagi perempuan.
Secara fisiologis, misalnya, wanita mengalami haid hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan atasnya. Sementara dari kejiwaan, pria umumnya lebih mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara wanita cenderung mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, wanita patut menjadi ibu yang mana punya ikatan yang kuat dengan anak. Sebaliknya, dengan kelebihannya, laki-laki pantas menjadi pemimpin sekaligus menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya.
Hal-hal di atas bersifat kodrati, bukan label sosial yang dilekatkan (sebagaimana sering didalilkan kaum feminis). Semuanya itu merupakan tatanan terbaik yang diatur Sang Pencipta, Allah l. Kelebihan dan kekurangan masing-masing akan saling melengkapi sehingga pria dan wanita bisa bersenyawa sebagai suami istri. Namun tatanan ini nampaknya hendak dicabik-cabik oleh para penjaja emansipasi yang mengemasnya sebagai ”kesetaraan” jender, yang mana hal itu telah diklaim sebagai simbol kemajuan di negara-negara Barat.
Para feminis dan aktivis perempuan itu seolah demikian percaya bahwa kemajuan terletak pada segala hal yang berbau Barat. ”Akidah” ini, sekaligus merupakan potret dari sebagian masyarakat Islam sekarang. Di mana busana, kultur, sistem politik (demokrasi) hingga makanan ’serba Barat’ telah demikian kokoh menjajah ’gaya hidup’ sebagian kaum muslimin.
Demikian juga emansipasi. Propagandanya telah memperkuat citra yang rendah terhadap ibu rumah tangga -yang jamak ditekuni oleh sebagian besar muslimah-, bahwa berkutatnya wanita dalam wilayah domestik dianggap keterbelakangan sebelum bisa menapaki karir.
Falsafah ini kian diperparah dengan paham yang mendewakan kecantikan fisik. Alhasil, ada wanita yang tidak mau menyusui, hanya mau melahirkan lewat jalan operasi, dan sebagainya, (konon) demi semata menjaga ”bentuk tubuh”. Sedemikian rusaknya pandangan ini, hingga anak pun dianggap sebagai penghambat kemajuan (karir).
Sejatinya, jika mau jujur, emansipasi tak lebih dari “produk gagal” dari industri peradaban Barat. Hanya karena kemasan alias silau terhadap kemajuan (fisik) Barat kemudian lahirlah pemahaman bahwa kemunduran negara-negara Islam disebabkan tidak mengikuti Barat, seakan menjadi harga mati.
Padahal kalau kita menilik sejarah, bukan teknologi atau tatanan pergaulan ala Barat sekarang yang membuat Islam jaya di masa silam. Apa arti teknologi jika tidak diimbangi keimanan. Yang terjadi, teknologi justru kemudian digunakan untuk membunuh, mengeksploitasi alam, menjajah negara lain apalagi hanya dengan dalih menangkap gembong teroris, memainkan perannya sebagai polisi dunia, serta menjerat negara berkembang dengan hutang plus (intervensi politik).
Negara Barat seakan tutup mata dengan keroposnya sendi-sendi masyarakat mereka karena tingginya angka perceraian, meratanya seks bebas, meningkatnya homoseksualitas (karena dilegalkan), kentalnya praktik rasial (terhadap warga non kulit putih), dan sebagainya.
Makanya jika kita masih saja berkaca dengan Barat, sudah saatnya kita meninjau ulang emansipasi!